Di puncak bianglala

Ainnaya Putri
7 min readMay 5, 2021

--

Ketika mengunjungi taman bermain seperti Dufan, kebanyakan orang akan memilih untuk pergi bersama keluarga, teman teman, atau kekasihnya. Aku pun berencana begitu sampai aku mendapat kabar bahwa temanku diare ketika sudah menukar voucher. Yasudah daripada mubazir, aku memilih untuk menjelajahi Dufan sendirian walaupun terlihat seperti bocah tersesat.

Wahana pertama yang akan aku kunjungi adalah bianglala, pemanasan sebelum menaiki wahana yang lebih ekstrem. Namun lihatlah aku sekarang, sebatang kara mengantre di antara banyaknya keluarga dan pasangan. Giliranku masuk sudah tiba tetapi ada satu lelaki yang juga sendirian ikut masuk.

“Maaf ya mbak, maaf ya mas. Gapapa kan kalau digabung? Biar yang keluarga dan pasangan bisa barengan.” Kami berdua lantas mengangguk, tidak enak juga kan mengganggu mereka yang ingin menghabiskan waktu bersama.

Mataku langsung tertuju pada pemandangan kota Jakarta dari bianglala yang tingginya kurang lebih 50 meter menurut perhitungan sok tau ku ini. Tak sadar bahwa lelaki berkacamata di depanku sedang melihatku dari atas sampai bawah. “Eh, halo. Lu anak prodi Prancis yah?”

Tentu saja aku terkejut, dari sebelah mananya penampilanku yang bisa diidentifikasikan sebagai mahasiswa prodi Sastra Prancis. “Sori sori, pertanyaannya bikin kaget. Gua sadar karena sering lihat anak prodi lu makan di Kantek (Kantin Teknik) pake kaos itu.”

Ya memang tidak salah sih, kalau anak prodiku sedang bosan dengan makanan di Kansas (Kantin Sastra) pasti kami menelusuri kantin fakultas lain untuk variasi makanan yang lebih beragam.

“Ohiya, kenalin gua Rama. Anak dari fakultas sebelah yang lagi skripsian dan kebetulan lagi nyari inspirasi juga makanya kesini.” Aku membalas uluran tangannya, toh dia terlihat harmless.

“Gue Azra, masih semester 6 dan lagi stress stressnya karena bentar lagi semester akhir.” Rama tertawa dan menimpali, katanya stress ketika semester 6 tidak ada apa-apanya dibanding apa yang ia rasakan sekarang. Ya beda jurusan, beda juga kesulitan yang akan dihadapi sih.

“Ohiya zra, lu keliatannya sendiri juga nih, mau nemenin gua keliling dufan ga yah? Biar seru aja.” Aku mengiyakan saja, toh kalau dia tiba-tiba kriminal aku bisa saja teriak sekencang mungkin agar orang lain bisa menolongku.

Bianglala kembali hening, Rama kembali memerhatikan pemandangan dan aku pun juga. Setinggi-tingginya gedung di kampusku, tidak akan terlihat bagaimana laut Jakarta yang semakin berpolusi, rupa bentuk gedung di sekitar ancol, tempat rekreasi lain yang juga ada di Ancol.

Di puncak bianglala ini, aku bisa melihat banyak hal yang belum pernah terekam oleh memoriku termasuk lelaki berkacamata berambut ikal yang (menurutku) sudah setahun lebih tidak mencukur rambutnya.

Dandanannya seperti anak teknik pada umumnya, kaos putih dibalut dengan kemeja flanel uniqlo, bedanya sekarang ia memakai celana pendek. Akan kena usir dia kalau memakai celana pendek ke kampus oleh dosennya.

Wahana pertama selesai, kami memutuskan untuk ke istana boneka sebelum ke tornado, biar relaks sebelum diputar-putar. Istana boneka dari aku kecil selalu sama seramnya tetapi lelaki di sampingku ini menatap setiap boneka dengan kagum. Sedangkan aku memilih untuk melamun karena sudah mulai kelaparan.

“Jangan melamun Azraa, nanti lu dijadiin boneka selanjutnya loh sama pemimpin Istana Boneka, hayoo.” Aku langsung pura pura merapikan rambutku, ogah banget jadi salah satu boneka di sini cuma bisa gerak-gerak doang!

Aku sudah bisa melihat cahaya matahari pertanda wahana ini akan berakhir, kami langsung bergegas ke tornado supaya tidak terlambat makan siangnya karena kami berdua mengidap penyakit umum yang menyerang mahasiswa, penyakit maag.

Teriakan orang-orang yang sedang menaiki tornado membuat sebagian pengunjung takut dan keluar dari antrean, tidak butuh waktu yang lama aku dan Rama sudah memakai sabuk pengaman. “Rama, kalo isi perut kosong ga mungkin kan ya gue muntah?”

“Ya enggak lah Zra, mau muntahin angin?” Wahana dimulai, aku tidak punya tenaga untuk berteriak, di sebelahku Rama malah teriak paling heboh padahal tadi di Istana Boneka dia bilang tidak takut akan ketinggian, sebuah anomali.

Setelah wahana selesai, kami langsung melipir ke McD terdekat, tentu saja paket panas 1 yang kami pesan, bersahabat dengan isi kantong namun perut juga kenyang. “Ram, katanya lo gak takut ketinggian tapi kenapa heboh banget deh?”

“HAHAHA emang gak takut Zra, gua melepaskan kemumetan akibat skripsi dengan cara teriak-teriak, liat aja nanti di hysteria gua bakal lebih heboh lagi. Jangan kapok yah.” Aku mengangguk saja, lagipula aku nanti akan sama hebohnya dengan lelaki di depanku ini.

Di perjalanan menuju hysteria, ada wahana roller coaster yang lebih kecil, kami menaiki wahana tersebut dahulu. Tidak ada teriakan yang keluar dari mulut kami malah menertawakan betapa ‘cupunya’ wahana tersebut. “Menurut gue, kalo pas TK naik wahana ini baru ada serem-seremnya. Sekarang mah lebih serem kuis mendadak.” Rama mengangguk setuju dengan perkataanku.

Akhirnya setelah berjalan hampir 15 menit sampai juga kami di wahana Hysteria. Antrean tidak terlalu ramai, hanya perlu menunggu dua kloter agar kami bisa menaiki wahana tersebut. Kami akan memilih bangku yang menghadap ke laut agar bisa melihat laut Jakarta.

Giliran kami tiba, untung saja kursi yang menghadap ke arah laut belum terisi penuh. Perlahan kami dinaikkan oleh mesin, masih bisa memandangi laut Jakarta dengan tenang. Namun, permainan sudah dimulai. Kami langsung diterjunkan dengan kecepatan yang cukup tinggi, rasanya jantungku seperti tertinggal di atas. Aku dan Rama berteriak super kencang, seru sekali.

Setelah dinaik turunkan beberapa kali, permainan di kloter kami berakhir. Aku dan Rama kembali berpikir, apa wahana selanjutnya yang harus kami naiki. Kami bimbang, ontang ontang atau halilintar dulu yah?

“Zra, kita suit kali ya untuk menentukan wahana selanjutnya. Gua mewakili ontang-ontang, lu mewakili halilintar.” Aku setuju jarang sekali aku kalah ketika bermain suit, sangat ketebak, tentu saja pemenangnya aku. Sambil membaca peta Dufan, kami bergegas menuju halilintar dengan berjalan cepat. Takut keburu sore dan antrean semakin ramai.

“Rama, sori ya nanti kalau di wahana gue tiba tiba pegang tangan lu. Dari semua wahana ekstrem dufan, ini adalah wahana yang paling gue takutin.” Sambil mengacak-ngacak rambutku Rama berkata.

“Bayar yah, mahal nih pegang-pegang tangan calon arsitek sukses dengan bayaran tiga digit sekali proyek.” Aku melengos mendengar perkataannya. Tapi kalau dipikir-pikir ada benarnya sih, dari dua tangan Rama dan otaknya akan tercipta bangunan yang super keren.

“Pake seatbeltnya yang bener Azra, kalau lu nanti terbang atau jatoh pas halilintarnya muter kan nanti gua yang bakal ditanya-tanyain wartawan. Kok bisa biarin adeknya jatoh mas.” Makin kesini, Rama semakin banyak mengeluarkan candaan-candaan yang sebenarnya agak garing. Aku tidak masalah karena menurutku dia melakukan ini semua agar suasana semakin cair.

“Iya mas Rama yang terhormat, makasih loh udah dipakein seatbeltnya. Toh nanti kalau saya jatoh, saya kan pegangan sama mas. Ga bakalan jatoh kok! Palingan cuman jadi atraksi dan masuk koran nasional aja hehehe.” Balasku, lagi-lagi dia mengacak rambutku. Ada apa dengan lelaki dan kebiasaannya mengacak-ngacak rambut. Udah tau perawatan rambut mahal!

Halilintar perlahan bergerak, sama seperti wahana-wahana ekstrem yang ada di muka bumi. Di awal pergerakan mereka akan sangat lambat namun ketika sudah di puncak, kecepatannya penuh. Aku memegang tangan Rama dengan erat, tangannya cukup halus dibandingkan dengan tangan lelaki yang pernah aku pegang.

“Rama lo pake lotion apa sih? Halus banget deh tangannya” Siapa tau kan, tanganku juga bisa lebih halus juga.

“Gua pake marin-AAAAAA” Halilintar bergerak dengan kecepatan penuh, seluruh penumpang wahana di kloter ini berteriak heboh. Aku dan Rama berteriak kencang seperti kucing yang sedang kawin. Tapi kalau kami mah gak kawin yah, ini ketakutan.

“Sori Zra tadi gua keburu teriak, gua pake marina doang kok. Ngambil dari kamar adek gua, kalau masih bisa minta punya adek kenapa harus beli sendiri.” Aku tertawa sebagai anak kedua yang mempunyai kakak dan adik, kejadian seperti itu adalah hal lumrah yang terjadi di rumahku.

“Ih tapi ya Ram, tangan lo bener bener alus banget asli dah. Bahkan adek cowok gue aja yang sering gua lotionin tangannya, masih beda jauh tingkat kehalusannya!” Rama terkikik lalu menjawab pertanyaanku.

“Gua kan lotionannya tiap saat Zra, abis mandi, abis cuci tangan, sebelum tidur, dan pas mau co — ” Aku langsung menyentil jidatnya, dasar laki laki di usia produktif!
“Ih sakit tau Azraaa, kan gua bercanda!” Rama cemberut, tenang saja sentilanku tadi tidak sesakit itu kok. Dia aja yang berlebihan.

“Ngasal banget lagian tuh congor, bisa bisanya ngomong kayak gitu di depan cewek yang baru dikenal. Daripada lo asbun lagi, mending kita naik arum jeram aja!” Rama menyetujui rencanaku.

Ketika sudah duduk di arum jeram, aku baru menyadari kesalahanku yang sangat fatal. “Ram, gue ga bawa baju ganti. Ini wahana pasti kan bakal basah-basahan.”

“Azra pinter, lepas aja flanel lu sekarang. Masukin ke dalam tas, voila! Tidak perlu beli baju atau terlalu kebasahan karena air.” Ini aku yang terlalu lemot atau Rama yang punya 1001 cara untuk bertahan hidup yah.

Aku langsung memasukkan flanelku ke dalam ransel, untung saja ransel yang sedang kupakai tidak menyerap air! “Dipeluk Azra ranselnya biar gak kemana mana ituuu”

Rama kali ini menceramahiku seperti apa yang papa lakukan setiap pagi, ketika aku lupa mengikat tali sepatu atau lupa membawa PR karena tertinggal di meja belajar. “Zra, abis ini kita ontang-anting yah. Kan muter-muter tuh, sekalian ngeringin kaos lu yang rada basah.”

Tuh kan! Benar dugaanku, Rama memiliki 1001 cara untuk bertahan hidup. Aku saja tidak kepikiran dan hampir mengeluarkan beberapa puluh ribu rupiah untuk membeli kaos lagi. Beruntung juga aku mengiyakan ajakannya untuk menjelajahi dufan bersamanya, kalau tidak entah berapa ratus uangku keluar karena kecerobohanku ini.

Di atas ontang-anting, aku dan Rama melihat langit Jakarta perlahan memudar cahaya mataharinya, malam pun datang. Tak terasa, aku sudah menghabiskan hampir tujuh jam bersama lelaki yang baru saja kukenal. Jika mama tau, pasti beliau akan heboh karena aku percaya saja dengan lelaki yang kutemui di taman bermain.

Saat perjalanan pulang, kami melewati komidi putar. “Zra, ayuk kita closingannya naik ini dulu.”

Menaiki komidi putar, membawa banyak memori yang aku kira sudah kulupakan. Aku mengingat betapa hebohnya papa mengarahkan gaya fotoku, mama yang ikut berfoto bersamaku di samping, kakakku yang sibuk sendiri memilih kuda mana yang akan ia tumpangi.

“Ohiya Rama, makasih banyak yah buat hari ini. Ternyata lo menepati janji untuk gak macem-macem. Makasih loh udah memberikan banyak ide-ide biar gue tidak menghabiskan banyak uang di sini.”

Rama memberikanku secarik kertas. “Iya sama-sama Azra, ini ID Line gua yah. Kalau butuh ide-ide untuk bertahan hidup bisa langsung hubungin gua kesitu. Gak bakal 100% fast respond sih but i’ll try my best.”

Kami berdua tersenyum. “Ohiya Zra, lu pulang naik apa?”

“Aman sih gue pulang mah, bawa mobil soalnya ke sini” Ini aku yang kegeeran atau Rama ingin mengajakku pulang bareng yah?

Wahana ini berhenti, kami berjalan bersama sampai gerbang keluar. “Hati-hati ya Azra bawa mobilnya, jangan lupa makan malem.”

“Iya Rama, hati-hati juga!” Aku melambaikan tangan ke arahnya sampai mataku tak bisa menangkap pundaknya lagi. Hari yang aneh, bisa-bisanya aku yang baru putus cinta mau saja jalan dengan lelaki yang tak kukenal.

Semoga saja jika hubungan ini berlanjut, dia tidak akan menyakitiku seperti apa yang mantanku lakukan.

Selesai.

--

--